Senin, 06 Februari 2012

Good Parents

Sebagai orang tua saya sering memperhatikan orang tua lain dalam cara mereka mengurus anak-anak mereka, ini adalah sebagai bahan pembelajaran untuk saya pribadi dan melihat sesuatu dengan kaca mata yang berbeda, out of the box. Terkadang tanpa sadar kita melakukan kekeliruan dalam cara mendidik anak, kesalahan yang tidak kita sadari dan ironisnya terjadi selama puluhan tahun. Dengan bercermin pada orang lain kita dapat menerapkan dan meodifikasi secukupnya agar sesuai dengan kebutuhan kita sebagai orang tua.


Junk food adalah makanan yang ingin saya hindarkan dari keluarga saya terutama untuk anak-anak. Saya tidak ingin makanan junk food dianggap suatu yang perlu, keharusan, kebutuhan, dianggap suatu yang keren. Saya ingin menanamkan kepada mereka bahwa junk food perlu kita hindarkan demi kesehatan kita dalam jangka panjang. Namun saya juga tidak menampik junk food, sesekali mungkin karena terpaksa saya atau karena memang mau, saya mengajak anak makan di ‘rumahnya’ junk food. Saya sadar hidup di kota besar seperti Jakata tidak akan pernah bisa terlepas dari rumah junk food, selama kita mampu membatasi diri untuk tidak ‘ngefans’ pada jenis makanan yang satu ini saya rasa masih bisa di tolerir.
Seperti yang saya lakukan kemaren, setelah menikmati Anima Expo di Balai Kartini kami lanjut ke Gelael Tebet untuk mecari kado anak tetangga yang besok berulang tahun dan sekalian cari makan, perut sudah lapeeeeer.....
Ternyata di lt 2 Gelael Tebet bukan hanya ada KFC tapi juga restoran lain yang menyediakan makanan alternatif bagi yang tidak suka junk food, tapi memang dasar alasan selalu ada saja buat menikmati junk food, salah satunya ketersediaan tempat bermain sederhana, gratis pula untuk anak-anak. Mau gak mau ya jadilah kita makan KFC. Di tempat bermain itu, ada papan peringatan yang cukup mengusik saya, bunyinya gini “ GRATIS, Resiko tanggung sendiri”....maksudnya? sayang saya kelupaan ambil fotonya. Agak sedikit aneh ya, kenapa kesannya ketakutan gitu ya, skeptik, antipati. Jadi kek tukang bajaj, mau murah nyawa gak ditanggung...hadooooo sadis banget. Masih banyak kok kata-kata yang lebih halus untuk mengutarakan maksud dari si empunya tempat, misalnya “Gratis, Harap awasi putra putri Anda, KFC tidak bertanggung jawab atas kelalaian konsumen” – kepanjangan ya?  Ihihihiih.....atau apakah KFC menganggap umumnya orang Indonesia harus to the point??

Tapi bukan bagian ini yang ingin saya ceritakan. menjadi keprihatinan saya adalah bagaimana para orang tua memperlakukan anak mereka. Ada 2 orang ibu yang beda meja dan saya yakin mereka tidak saling kenal. Anak-anak mereka seperti juga anak saya asik bermain di tempat yang disediakan. Anehnya kalau saya repot menyuapi anak saya dan mengkhawatirkan apa yang mereka lakukan takut lepas dari pengawasan dan membuat dia celaka, ibu-ibu ini asik dengan Blackberry, tablet dan gadget mereka. Jadi bukan suatu hal aneh saat anak mereka mengajak sesekali ngobrol mereka menanggapi dengan seksama , sebaliknya, mereka justru acuh dan seakan terganggu dengan kehadiran anak-anak mereka, seakan yang terpenting saat itu adalah gadget mereka dengan urusan gossip di group masing-masing, hadooooooooo bikin sebel liatnya.
Saya berfikir kalau seandainya mereka adalah ibu rumah tangga, kemudian menganggap mengajak anak berlibur sekaligus makan di KFC adalah suatu hal yang keren dan menyenangkan, sungguh menyedihkan, karena ibu sudah salah tempat dalam menyenangkan anak-anak. Namun jika si ibu adalah wanita pekerja sama seperti saya, kemudian mampir sejenak disini berlibur dengan anak-anak, sugguh kebodohan karena tujuan utama mereka tidak tercapai. Setiap hari sudah ditemani gadget apakah perlu saat libur membawa mereka – ketempat makanan sampah pula, tetap tidak mau lepas dengan gadetnya ? sungguh pilihanyang buruk. Seorang anak tidak selalu salah, karena sering orang tua yang justru melakukan kesalahan secara sadar atau tidak sadar. Wajar jika kelak sang anak dikatakan menjadi anak durhaka, wong dari orang tuanya sendiri menyia-nyiakan kehadiran mereka.
Anak sering merasa tidak dianggap dan tidak diperdulikan, diacuhkan, dianggap tidak lebih penting dari gadget dan karir mereka. Anak-anak mungkin tidak bisa mengungkapkannya dengan benar namun percayalah mereka merasakan deskriminasi, ketidak seimbangan perhatian yang diberikan oleh orang tua.
Jadi mulai sekarang sebaiknya kita mulai mengintrospeksi diri, pentingan mana gadget dan anak kita? Pilihlah tempat yang memang pantas untuk keluarga kita untuk memanfaatkan quality time bersama.  

Jumat, 03 Februari 2012

Bad Worker

Tidak ingin bermaksud menjelekan orang lain dan lupa dengan kekurangan diri sendiri, saya mencoba menceritakan betapa menyebalkannya bertemu atau harus bersinggungan dengan orang yang sulit banget ngerti pekerjaan yang menjadi job descnya.  



Yang saya ketahui bahwa seseorang dianggap tidak mampu mengerjakan tugasnya dikarenakan banyak faktor. Bisa faktor lingkungan, faktor pendidikan, faktor pengalaman, faktor keluarga dll. Faktor lingkungan misalnya karena ditempat dia bekerja tidak memiliki SOP, dimana dia hanya bekerja terbatas pada apa yang dia ketahui saja dan menurut dia benar hingga masalah muncul saat bersentuhan dengan pihak lain yang notabene bertolak belakang cara kerjanya. 

Faktor pendidikan sudah pasti berpengaruh dan yang tidak kalah penting adalah faktor pengalaman. Seorang yang berpendidikan, namun minim pengalaman dalam beroganisasi akan menemui banyak kesulitan. Misalnya orang yang saya mau ceritakan sekarang.
Sekali dua kali saya kasih pengertian tentang prosedur, tata cara, aturan main, style, model - whatever you called it, yang berlaku dalam organisasi tempat saya bekerja masih oke ya. Tapi kalau dikasih tau berkali-kali dan gak inget alias lupa alias tambeng alias dableg, gimana gak sewot dan pengen tarik-tarik rambut rasanya. Ini orang kok alot banget siiiiiiiiiiiiiiich. Kemaren-kemaren kemana aja? Abis dugem ya ampe amnesia akut?

Saya bicara dengan cara halus salah, gak ngerti cara menterjemahkan dia, jadi ya sudah pake bahasa blak-blakan aja, to the point, apa adanya. Singkat padat dan jelas. Ini pun belum cukup, ternyata setelah dikasih tau kedepannya dia bakalan nanya hal yang sama meskipun dengan kalimat yang berbeda – kalau ampe kata-kata sama juga mah kebangetan, gak kreatif banget . 

Ada lagi yang bikin sebel, mungkin karena kebiasaan nanya, ngandelin orang lain, eh malah keterusan. Apa-apa nanya, emang dia pikir saya sodaranya mbah Google apa?! Daripada nanya saya mendingan nanya google langsung dooooong, wong saya juga nyarinya lewat Google. Bayangin aja, pernah dia nanya, no telp toko Brand X selain di Citraland (sebelumnya saya sudah kasih no telp plus no hp kepala toko kenalan saya biasa beli barang Brand X ini), dia pikir saya yang punya toko apa ? ya kenapa gak nanya aja sama toko Brand X di Citraland ini ‘temennya’ ada dimana lagi ? ato search aja di Google, toch brand nya famous kok, bukan brand ecek-ecek. Kebiasaan jadi followers sich bukan jadi innovator, susah deh……udah minded.

Saya gerah ya menyikapi orang seperti ini, jadi saya suka gak mau ambil pusing. Kerjaan yang saya anggep simple banget kok jadi ribet saat ditangan dia. Ngerempongin banget deh nich orang. Kadang suka saya cuekin, biar dia pake otaknya buat mikir, cari ide kreatif gimana caranya supaya bisa jalan dan selesai tuch tugasnya. Buat saya, saya akan bantu selama saya ada waktu untuk bantu, dalam artian pekerjaan utama saya tidak terbengkalai. Tapi mohon maaf lahir bathin, kalau saya gak ada waktu silakan dipake otaknya biar gak idle dan kreatif dalam mencari pemecahan masalah sendiri.
  

Kamis, 02 Februari 2012

Hak Pejalan Kaki


Saya awalnya gak begitu tertarik membuka video ini tapi pas mengamati komentar yang sudah menontonnnya saya jadi penasaran : http://video.vivanews.com/read/17476-pembela-hak-pejalan-kaki_1

Memang ya hidup di Jakarta itu gak gampang, ada-ada aja yang bisa memicu stress dan bentrokan tapi salut deh buat Ibu yang satu ini, seorang diri ngelawan para pengendara sepeda motor yang naik ke trotoar. Itu hak nya si Ibu loch, pengendara motor yang menurut saya so stupid banget, udah salah ngotot pula, gak segitunya kaliiii maaaaassss……….

Kalau mau ngambil hak orang lain dengan dalih apapun bok ya liat-liat situasi dan kondisi toch…..saya jadi malu sama Ibu ini karena saya juga pernah mengendarai motor sampai naik ke trotoar tapi ya tetap menghormati yang jalan kaki juga, wong itu haknya yang saya rampas kok…


Kembali lagi, hidup di Jakarta, sebagai orang timur kita secara mendasar punya begitu luas rasa toleransi, tidak sungkan untuk berbagi walaupun terkadang merugikan diri kita sendiri, bahkan terkadang orang yang kita berikan toleransi kurang ajar, udah ngambil hak orang mau semuanya lagi. Menurut saya ini justru yang gak bener. 

Urusan sarana transportasi dan tetek bengeknya di Jakarta terutama sudah seperti benang kusut yang susah banget untuk di luruskan. Banyak pihak yang saling kait mengait, tinggal bagaimana kita menyikapi kondisi yang ada dengan lebih bijak.


Rabu, 01 Februari 2012

Transjakarta BUKAN Busway, Part 2


Pada postingan sebelumnya saya pernah membahas mengenai kesalahan dalam memaknai kata 'Tranjakarta' menjadi 'Busway'. Memang kedua kata ini tinggal di ranah yang sama namun memiliki arti yang berbeda, yang satu 'jenis kendaraan' yang satunya lagi 'jalur untuk kendaraan'. Saking gemesnya sama orang-orang yang masih belum sadar dan terlalu merasa nyaman dengan kekeliruan ini, saya sampai mengumpulkan bukti-bukti rambu-rambu Transjakarta, yuk coba kita bahas satu persatu.
Liat deh pada rambu diatas, kata 'selain bus way' kemudian dibawahnya diperkuat dengan padanan kata yang seharusnya jenis yang sama 'kendaraan umum, mobil, motor'...ini artinya yang membuat mengartikan kata 'bus way' disini sama dengan jenis kendaraan. Yang setuju dengan saya angkat tangan.....!!! seharusnya kata yang tepat adalah 'Selain Bus Transjakarta'
Lanjut pada kalimat dibawahnya, 'dilarang menggunakan lajur bus way'. Kata 'way' dalam bahasa Indonesia berarti 'jalan' atau 'jalur' atau 'lajur', jadi disini terjadi pemborosan kata. betul tidaaaaaak???.....

Untuk rambu yang satu ini 'separtor busway' saya setuju tidak ada kekeliruan, karena jika kita break satu persatu ke dalam bahasa Indonesia kira-kira begini, 'separator' berasal dari bahasa inggris 'separate' yang berarti 'pisah' karena ditambah 'or' jadinya 'pemisah'. Bagaimana dengan 'Buswa'? berasal dari dua suka kata 'bus' dan 'way' yang artinya 'jalur/jalan bus'. Jadi kalau digabungkan kira-kira berarti 'pemisah jalur bus' atau dengan kata lain pengkolan bus, pemotongan jalur bus, perempatan jalur bus and so on. 
Lalu bagaimana dengan rambu satunya lagi, 'kecuali busway'. Hadoooooooo.....udah keliru, bahasa dicampur aduk lagi, jadi makin gak jelas artinya. Jelas ini kesalahan besar dan anehnya dipasang paling banyak. seharusnya dibaca 'dilarang masuk (tanda merah pagar putih) kecuali bus Transjakarta'......meskipun SIM nembak, gini-gini saya paham loch sama arti rambu-rambu lalulintas. 




Ini ada lagi , saya yakin yang dimaksud adalah 'Halte Bus Transjakarta Jelambar'.
Hal sepele buat sebagian orang bahkan Pemda tapi sangat beban moral buat saya pribadi, bagaimana tidak, adakah Anda berfikir bahwa penggunaan kata/kalimat yang salah mencerminkan tingkat kecerdasan suatu bangsa? apa kira-kira orang bule bilang kalau liat rambu-rambu ini? mungkin mereka akan berfikir 'maksud dan tujuan hidup lu apa siiiiich....'. 'Jalur khusus busway', logikanya kalau yang baca ini supir Bus Mayasari Bakti, sah doooooooong...tul gak?
yang tepat : Khusus Bus Transjakarta

Balada Tukang Tambal Ban dan Penebar Ranjau Paku

Dinamika kehidupan di Jakarta tuch ada-ada aja ya, saya banyak sekali mengalami hal tidak terduga. Salah satunya seperti saya alami tadi malam, untuk kedua kalinya dapat kesempatan lebih dekat berkenalan dengan tukang tambal ban motor di depan Shangrila Apartment, sebelahnya Shangrila Hotel. Entah sebuah kebetulan atau karena kesengajaan, paku berkarat bisa bersarang di ban sepeda motor saya. Herannya ini adalah kali kedua kami (saya dan suami) mengalami bocor ban motor di tempat yang persis sama dan masih dengan tukang tambal ban yang sama pula. 
Depan apartment Shangrila, tambal ban part 1

Pengen sich untuk berfikir husnuzon tapi kalau kondisinya perut laper, lelah, pengen cepat pulang, anak-anak nunggu, gerah, kok rasanya pikiran baik susah datang ya, adanya tuch pikiran negatif terus. Coba deh di pikir, seberapa besar persentase ada paku berkarat tercecer di depan sebuah hotel berbintang, yang jalanannya dilalui banyak orang setiap hari, padat dan macet. Tidak ada pembangunan apa-apa juga di dekat situ, bengkel furniture gak ada, toko bangunan gak ada, pemulung dengan gerobaknya susah lewat, gimana mau lewat, jalan kaki aja susah, yang ada pengendara motor udah geram duluan kalau ada gerombak yang menghalangi jalan mereka.

Buat saya motifnya gak lain dan gak bukan adalah KESENGAJAAN!. Gak bisa dipungkiri pemikiran ini juga hadir atas pemberitaan yang diangkat media tentang kejahatan ranjau paku yang marak di Jakarta belakangan ini. Kalau untuk daerah BNI 46 (pinggiran kali) kecil kemungkinan kesengajaan untuk perampokan karena daerah ini selalu ramai dengan pengendara, cenderung macet, pun kalau rampok mau beraksi paling pada midnight keatas, itupun sekalian kencan sama hantu kuburan karet Bivak, secara ya tempatnya tuch strategis banget buat bikin cerita horor. 

Jadi motif kesengajaan lainnya tinggal satu yaitu menjadi korban ‘pelanggan’ tambal ban. Memang kita tidak boleh mengeneralisir semua tukang tambal ban berbuat jahat untuk mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Tapi seperti yang saya katakan tadi, tidak mudah untuk berfikir positif dalam kondisi ‘tertekan’....wakakak semua serba negatif aja jadinya.  Tapi bukan berarti berusaha untuk berfikir positif tidak bisa kita lakukan.....setidaknya untuk kebaikan diri kita sendiri.

Melihat kondisi suami yang sewot, gara-gara ini kali kedua kejadian serupa dia alami bersama saya. Dulu bahkan lebih parah, sedang buru-buru mau nonton pertandingan sepak bola di GBK, bener-bener pengalaman yang ‘gak banget’ – gak pengen diingat, gak pengen disebut, gak pengen lagi, pokeke gak baget deeehhhh.....Untuk mengimbangi situasi yang gak menguntungkan, saya memilih mengajak suami berfikir positif dengan membahas berbagai hal sampai temen lewat – katanya sich ampe dadah-dadah...., gak ngeliat #maaf ya jeng Mira.....

Suasana sudah mulai gelap, senja menjelang malam, satu-satunya yang bisa dilakukan saat si tukang tambal ban bekerja adalah mengobrol, ngobrolin apapun yang bisa diobrolin. Mulai dari cara ‘dr ban’ beraksi mengoperasikan peralatannya, rada aneh dan gak masuk hitungan wajar. Coba bayangkan, dimana-mana kalau pengen tau berapa banyak lubang di ban, biasanya digunakan cara merendam ban dalam air atau ban dikencangkan lalu ditandai lubang anginnya, kalau bapak yang satu ini kondisi ban kencang lalu dikempeskan lalu dia tandai lubangnnya. Hmmmm....kok aneh ya...emang bisa? Ada cara gampang ngapain dia pilih repot. Sekali dapat lubang 5,....hadooooo....gak salah tuch pak, jangan-jangan salah lagi nandainnya pake paku lainnya .....Coba Anda diposisi saya ya, apa yang Anda pikirkan? Lampu yang dia andalkan untuk bekerja cuma lampu jalanan, remang-remang udah kek di diskotek, usianya juga sudah gak muda lagi, gimana caranya bisa yakin banget gitu ya sama lubangnya ....hafal banget gitu posisinya hahaha.....Udah gitu dia gak punya ban baru, mendingan nambelin satu persatu ke 5 luban tsb. Aduuuuh pak…..nyamuk nich….
Ini dia biang kerokny, pengen di beliin Frame deh biar indah....

Ya sudahlah......perjalanan kami tergantung sama nich bapak, mau ngomong apalagi coba, ini namanya hukum rimba berlaku, siapapun yang lebih berkuasa dia yang akan menang, meskipun yang mengikuti tidak sepenuhnya ikhlas tapi toch tetap tidak akan berbuat apa-apa. Yang paling kami ingat dari bapak tambal ban ini, dia banyak ngomong!!. Maklum si bapak kan gak kenal istilah ‘talk less do more’…. Saking kebanyakan ngomong didalam hati kami khawatir ban yang dia tambal tidak bagus kualitas tambalannya, jangan-jangan gak nyampe rumah udah bocor lagi nich.....#ssst jangan diomongin nanti kejadian beneran loch.....hahaha.
Selama nunggu si bapak menyelesaikan pekerjaannya, kami melihat ada ibu-ibu yang bermurah hati ngasih nasi bungkus untuk si bapak sambil terus berlalu, mungkin karena faktor iba melihat bapak yang sudah tua tapi masih tetap rajin bekerja mencari nafkah. Saking asiknya ngobrol sampai kami berdua tidak sadar, tidak lama berselang seorang bapak dari mobil berteriak pada si bapak dan memberikan sejumlah uang. Kami berdua sampai heran, kok si bapak ngeh aja ya......si bapak tentu saja senang dan kembali berkoar-koar panjang lebar pada suami. Katanya dia sebenarnya sudah tidak diperbolehkan bekerja oleh kedua anaknya yang sudah sukses menjadi supervisor dan punya banyak anak buah, katanya dia kalau gak kerja badannya terasa sakit.....hmmmmm.....hmmmmm think think think.....do you believe that ? – mencoba untuk berdalih, mohon maaf dengan sangat saya tidak bisa percaya begitu saja. 

Logikanya saya begini, andai kata si bapak ini memang mempunyai sifat idealis, senang bekerja dan tidak ingin mengandalkan orang lain lalu kenapa dia dengan tidak malu-malu dan sungkan menerima para dermawan itu menyisihkan sebagian rejekinya? Biasanya sifat akan mengikuti seseorang pada aksi berikutnya yang menunjukan sifatnya atau dengan kata lain, sifat akan tercermin dari perbuatan seseorang. Kalau si bapak memang idealis, bukankah seharusnya dia sedikit merasa risi menerima belas kasihan orang lain. Apa yang dia utarakan tentang latar belakang keluarganya dengan apa yang dia jalani dan terjadi di depan mata saya, saya anggap kontradiktif, jadi saya tidak bisa menerima sepenuhnya apa yang dia ungkapkan adalah kebenaran bukan karangan. Saya malah berfikir apa yang dia ungkapkan adalah dalih atas perbuatan jahatnya menyebarkan ranjau paku. Jahat ya saya ......? tapi yah itu hanya sebatas pemikiran, menurut saya sah-sah saja berfikir seperti itu, berfikir adalah sebuah kreatifitas tanpa batas, hak seorang individu dan tidak ada yang bisa menghalanginya.

Sifat individual, sendiri-sendiri, skeptik, paranoid, dan berada pada golongan heavy viewer tidak dapat saya hindarkan selama hidup puluhan tahun di Jakarta. Beragam rangkaian berita kejahatan membuat kita menjadi lebih waspada dalam setiap tindakan yang kita ambil dalam kejadian disekitar kita.  Menjadi individu yang selalu berfikir negatif, defensive terhadap lingkungan yang asing bagi kita dan cenderung menjaga jarak. Anda mungkin tidak sadari tapi kalau sekali-kali ditelaah pasti akan ketemu jawabannya kenapa sampai bisa begitu.
Pernah gak mendadak di tengah jalan ada seorang bapak-bapak, segar bugar, dengan gendolan tas di punggungnnya tiba-tiba dengan akrabnya bertanya ‘dek, saya mau ke slipi, naik apa ya?’ setelah di kasih tau malah melanjutkan perbincangan ‘bapak sudah jalan jauh sepertinya nyasar habis ongkos…bla…bla…bla ‘ kenapa bla …bla…karena kita sendiri udah gak pengen nyimak uraian lengkapnya si bapak, gara-gara dipikiran kita udah kebayang, PENIPUAN nich…..Atau ada ibu-ibu ngelongsor di trotoar dengan jalanan yang dipadati pengendara seperti di depan kantor lurah Bendhil? Apa yang anda pikirkan ? berhenti sejenak, turun dari mobil atau motor, lalu menolong si ibu yang kebingungan? Atau cuek? …..hahahah…..gak usah dibahas…..

Well, setelah panjang lebar ngobrol dengan suami, menikmati lampu jalanan, debu bertebangan dan hampir 1 jam, 5 lubang sudah ditambal, perut mules, muka lengket, waktunya kita pulang namun tetap dengan perasaan gak yakin bakalan sampai rumah. Aaaaaandddd.....bam! tidak sampai 5 kilometer saat menyebrang rel kereta motor tiba-tiba oleng lagi....mati!!! bocor lagi.......hadooooooo bener kan apa yang ditakutkan terjadi. Baru juga separuh jalan......Gak kebayang deh keselnya suami, sampe dia bilang “makan deh tuch duit, gak ikhlas gw.....” – sambil nekuk mukanya ke motor .....hahahaha.....biasanya yang emosi gak stabil kalau dalam kondisi begini adalah saya tapi aneh, kali ini justru saya yang merasa baik-baik saja, salah satunya karena saya happy jadi punya bahan tulisan untuk mengisi blog ini wakakaka........
Dengan perut lapar dan muka sewotnya....

Untungnnya –udah jatuh tertiban tangga masih dibilang untung soale gak pake luka ......hahaha, gak jauh kita ketemu tukang tambal ban yang menyediakan ban baru, gak seperti bapak yang tadi, mau-maunya bela-belain nambal 5 lubang ketimbang modalin jual ban baru padahal kan anaknya supervisor gitu loch.....gak berapa menit urusan ganti ban baru selesai dan kita tancap gas pulang. 
Ganti ban, Part 2

Sungguh pengalaman biasa yang menjadi luar biasa buat saya, karena secara tidak langsung telah menjadi bagian dari berita yang sedang trend saat ini, ranjau paku dan relawan sapu bersih yang bertugas membersihkan ranjau paku dengan suka rela. Sayang nich gak ada wartawan TV yang melintas, kalau gak kan lumayan masuk tipi......bisa dadah-dadah dan kirim-kirim salam hahahha......

Tapi lebih jauh, sebenarnya kejadian ini membuat saya belajar bagaimana cara menyikapi setiap kejadian tidak mengenakan dengan terus menyuntikan hal positif kedalam pikiran kita hingga kita tidak terbawa ke hal yang lebih buruk lagi, penyakit hati, jauh rejeki, stress, sakit dst. Mendingan dibawa santai dan dinikmati aja, itu akan jauh lebih membantu. Percaya deh....good luck.