Kamis, 21 Februari 2013

Screening The Act of Killing (TAoK) @ FIB UI Depok

"Tidak mudah bagi kita, sebetulnya, membedakan antara yang fiksi dan yang nyata. Kita seringkali tidak tahu yang nyata itu yang mana. Dalam kesulitan ini, setiap hari, kita harus mengambil keputusan dan bertindak atas keputusan itu."
--Joshua Oppenheimer--

Akhirnya kesampaian juga nonton TAoK, film diatas film yang bikin penasaran seperti apa. Bermula dari pembahasan dalam kuliah Managemen Reputasi perihal bagaimana sebuah Grand Goal ditetapkan dan bagaimana upaya yang dilakukan agar pesan itu sampai kepada khayak, kemudian mereka aware terhadap isi pesan, lalu memberikan attentions (perhatian), selanjutnya muncul desire (keinginan/minat) terhadap informasi yang kita sampaikan hingga akhirnya mengambil action (tindakan) untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan atau sebuah program yang kita kelola dalam rangka mencapai goal yang sudah ditetapkan diatas tadi- biasa disingkat dengan A-I-D-A.

Inilah praktek atau contoh nyata yang telah dilakukan oleh para penyebar pesan dan pembawa informasi perihal film Jagal /TAoK. Namun apa yang menjadi Grand Goal dari film ini sendiri hanya mereka yang tahu. Saya yakin bahwa dalam mencapai goal mereka, TAoK hanya merupakah salah satu dari banyak tools yang dipergunakan.Yang jelas saya sudah menjadi "korban" arus informasi yang disampaikan tsb, saya sudah mencapai pada tingkatan "A" terakhir yaitu Action, dimana saya menonton film tsb dan tentu saja lebih dari pada itu, dengan suka rela menshare informasi seputar TAoK, oh ya dan membuat postingan ini tentunya.....#kedip2 sama diri sendiri....wakakaka

Saya selalu teringat pada pelajaran filsafat, dimana filsafat dikatakan sebagai ibu dari ilmu pengetahuan. Dengan berfilsafat artinya kita terus menerus bertanya, berfikir. Salah satunya terhadap TAoK. Film ini erat kaitannya dengan kejadian pembantaian terhadap anggota atau disinyalir anggota PKI antara tahun 1965-1966. Ada beberapa versi mengenai jumlah orang yang tewas pada masa itu, yang jelas antara 500 ribu hingga 1 juta jiwa. TAoK merupakan film documenter behind the scene-nya film berjudul "Arsan & Aminah".
Aldy, Anwar

Dikatakan film TAoK sudah meraih penghargaan diberbagai kancah perfilm internasional, terakhir yang saya ketahui adalah pada festival film Internasional di Berlin (Berlinale) Jerman 2013, menang pada kategori Panorama Audience Award (adalah hasil penilaian dari penonton yang diminta untuk memberikan nilai pada masing-masing film yang mereka tonton) dan Prizes of the Ecumenical Jury (penilaian tinggi dari  organisasi film gereja protestan dan katolik untuk film yang dianggap peka terhadap nilai-nilai sosial dan hak hidup manusia) untuk film dokumenter.

Sudah lama kontroversi mengenai kudeta yang katanya dilakukan oleh PKI kemudian digagalkan oleh Jend. Soeharto pada masa itu, merupakan propaganda politik semata. PKI hanya menjadi kambing hitam, pembantaian yang digambarkan sadis pada film G30S PKI dianggap sebagai pemicu pertahanan masyarakat dan kemudian anti terhadap PKI dan bersiap melakukan perlawanan, terjadi pelanggaran HAM berat, banyak bukti sejarah yang hingga kini tidak diungkapkan bahkan adapula yang dihilangkan terkait tragedi PKI dst dst... Dikatakan bahwa film TAoK sangat unik, mengungkap sisi lain dari sebuah sejarah gelap dan panjang sebuah bangsa, serta dianggap sebuah pintu yang diharapkan mampu mengungkap sedikit demi sedikit kebenaran dalam sejarah yang ingin kita ketahui dan bukan untuk dilupakan dan ditutupi. Mungkin karena itu juga pemutaran film ini banyak dijegal di berbagai tempat di tanah air, seperti Blitar dan Malang - termasuk yang kemaren di UI tempat saya nonton sempet didatengin kapolseknya.

Beranjak dari situ, rasa penasaran saya semakin tinggi terhadap kekuatan film ini. Tidak sulit mendapatkan informasi update mengenai segala hal tentang film ini termasuk jadual screeningnnya, asal mau pantengin fb nya aja, beres. Dan kesempatan itu akhirnya datang juga, Selasa (19/2) dijadualkan tayang di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Depok jam 13.15 Wib. Haiyaaaaaaaaaaah.....hari kerja, siang pulak!....tapi kalau gak nonton sayang nich, gak tahu kapan ada lagi. Lagian si Boss juga lagi gak ada agenda yang penting-penting banget neh...walhasil keputusan bulat, tak ambil cuti sajah...dari pada nyesel #curcol


Joshua Oppenheimer
Perlu diketahui sebelumnya bahwa film ini dibuat oleh Joshua Oppenheimer sebagai bagian dari penelitian pascadoktoral, dan sebagaimana lazimnya sebuah karya ilmiah harus menjadi konsumsi publik, sesuatu yang harus mampu memberikan manfaat dan berpengaruh terhadap orang banyak. Film ini kabarnya dibuat dalam kurun waktu yang tidak pendek, yaitu 7 tahun antara tahun 2005 sampai 2011, setting film sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatera Utara. Sebagian pendanaan untuk film ini berasal dari Dewan Riset Kesenian dan Humaniora Inggris.

Selasa, 19 February 2013 - UI here we are


Saking niatnya, cuti sudah diajukan sejak seminggu sebelum jadual pemutarannya dan baru bisa di sign si boss sore hari sebelum hari H. Saya gak sendiri, entah karena memang kena hasutan saya beberapa bulan ini, ato memang karena tahu diri "kewajiban" nganter istri, atauuuu....memang pada dasarnya suami tercinta orang yang baik hati dan tidak sombong, tanpa babibu beliau bersedia nganter plus ada 2 orang temen yang sama tertariknya dengan saya. Fisa dan Amel....semoga lain kali kita bisa dateng ke acara diskusi unik lainnya ya...

Dengan pertimbangan kurang familiar dengan lokasi pemutaran, antisipasi membludaknya penonton, karena gratis gitu loch, gak bisa dipungkiri kalau yang gratis apalagi langka biasanya peminatnya banyak toch - terakhir diketahui penonton mencapai 400 orang termasuk kapolsek hehehe.....kita beranjak dari Jakarta sekitar jam 10.30 pagi...sampai di UI sekitar jam 11.30 siang, hitung-hitungannya setelah check and richeck lokasi, liat sikon terus masih keburu untuk makan siang.

Sampai di UI, susah-susah gampang mencari FIB, dan sempet bingung #norax sich tepatnya hahah...FIB itu singkatan apa toch ...Fakultas Ilmu Bahasa ??...karena takut dibilang once, googling ....ooooh ternyata FIB = Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya...tp kemana "P"nya yo ...ya wes lah...terserah aja...saya kan mau nonton TAoK, bukan nyari sejarah FIB.
Teeerus...dari pintu masuk arah Pasar Minggu (saya gak tau ini pintu masuk utama apa bukan) harus muuuuuuuuuuuuuter nun jauh dimato, melewati beberapa danau (sepertinya buatan), beberapa hutan, beberapa halte, beberapa tanda puter balik, beberapa nama jalan, dan beberapa fakultas...barulah ketemu itu yang namanya FIB....saking noraknya sampai saya berkomentar...wow....UI tuch kaya banget ya ...klu di UMB...1 or 2 fakultas bisa ada dalam satu gedung, di UI Depok...satu fakultas punya gedung sendiri yang besarnya hampir sama dengan satu gedung di UMB....haiyaaaaahhhhhh.....norax akut.

Beruntung banget ya yang bisa merasakan kuliah di UI, dapat tempat yang begitu asri, sejuk, gedung besar, mau guling-guling mah hayuk...mau mancing ? bisaaaa, mau berenang ? booooleh, mau bunuh orang juga gampang....#duh yang ini jangan yaaa.....ckckckc....

And you know what....kenoraanpun berlanjut...ternyata di dalam area UI tuch ada Pegadaian, ATM BNI disetiap fakultas, dan ternyataaaaa......- baru nyadar nich ceritanya, gedung pemutaran ini namanya gedung IX FIB UI...liat ya huruf 9 romawinya itu...artinya ada gedung 1, 2, 3 dst...jihaaaaaa...hahahah...

Tapiiiiiiiiiiiiii....ada sesuatu yang membuat saya quite shocking, kenapa di UI belum ada aturan mengenai MEROKOK. Bukan mau sombong tapi jujur sich BANGGA banget, UMB sudah menerapkan aturan "DILARANG MEROKOK DI AREA KAMPUS" daaaaan hebatnya lagi...tidak boleh ada kegiatan kampus yang didanai oleh perusahaan rokok. Duuuh ...bangga beneran deh...hal ini disampaikan sendiri oleh Bu Dekan Fikom tercinta...Ibu Diah Wardhani. Dan ya...dengan aturan yang ada, kita bebas dan tidak sungkan untuk menegur kalau ada orang yang merokok seenak jidatnya di area kampus.

Beda dengan di UI, memang mereka punya area halaman dan taman yang luas, dan kalau ada orang yang merokok, saya (mungkin) gak merasa begitu terganggu karena jangkauan asapnya gak nyampe ke saya, tapi akan berbeda jika situasinya di dalam lorong gedung perkuliahan, ditangga, di kantin, para smoker itu udah kayak kereta api, main kenceng-kencengan nyedotnya....duuuuh mak..mengganggu banget. 

Hal ini memalukan banget, UI yang setua itu, kaya, luas, mewah, megah - bah lebay..., ditambah lagi saya liat  banyak sekali pelajar asing (mungkin pertukaran pelajar kali ya) yang berseliweran. 
Sempet juga mention ke twitternya UI Depok @Univ_Indonesia, cuma nanya, kok sampe sekarang UI Depok tidak menerapkan mengenai aturan dilarang merokok di area kampus, tapi so far gak ada tanggapan tuch ...bingung kali ye jawabnya, atau mungkin dianggap gak penting, or mungkin sibuk motong rumput di hutan UI itu kali ye....well what everlah ya...

Screening Time
Tiba saatnya pemutaran film TAoK, molor sekitar 15 menit dari schedule yang diumumkan semula yaitu jam 1.15pm. It's okelah daripada mundur 1 jam or ngak jadi sama sekali gara-gara kehadiran orang ketiga diantara kita (baca : kapolsek). 

Dari awal saya sudah bisa membayangkan alur filmnya seperti apa, berkat dari menelaah berbagai sumber, tapi bagi yang belum, boleh jadi bingung dan kecewa. Jangan pernah membayangkan film nya bercerita seperti G30S PKI yang horor itu, memiliki alur cerita yang mampu dipahami dari anak kecil sampe kakek nenek - memang dibuat seperti itu kali ye...kan judulnya propaganda melalui film. 

Dalam TAoK diceritakan bagaimana seorang Anwar Congo, preman yang terkenal di Medan, tukang catut karcis bioskop, anggota Pemuda Pancasila, yang dulunya berprofesi sebagai seorang Jagal penumpas anggota (disiyalir anggota) PKI, yang sekarang ini hidup bebas serta kenal dekat dengan para petinggi negara, diterima dengan sambutan meriah disetiap acara partai , duduk dibarisan VIP, memiliki cucu dan kehidupan "normal" ditengah anggota masyarakat, yang pada akhirnya mendapat tawaran bermain dalam sebuah lakon berjudul "Arsan & Aminah (A&A)". Kalau saya ditanya, memang apa sich sebenarnya cerita A&A yang ditawarkan kepada Anwar? itu pula yang menjadi pertanyaan saya hingga saat ini. 

Potongan-potongan behind the scene pembuatan film dan cerita kehidupan pribadi Anwar dirangkai dengan amat sangat apik oleh sang director. Bagaimana seorang Anwar mengalami pergolakan bathin atas apa yang dilaluinya dimasa lalu. Di awal diceritakan bagaiman cara ia menghabisi nyawa-nyawa manusia dengan melilitkan kawat pada leher korban dengan ujung kawat satunya terikat pada tiang, kawat itu ditarik sekuat-kuatnya hingga mencekik leher korban dan si korban mengeluarkan ngerangan khas seperti kerbau yang digorok lehernya. Menurutnya cara ini dilakukan agar korban tidak mengeluarkan darah dan bisa mati dengan lebih manusiawi. Can u imagine..."mati dengan cara yang lebih manusiawi"???....Kegiatan ini dilakukan diatap sebuah bangunan disalah satu sudut kota Medan, dia tidak bekerja sendiri tentunya. Setelah korban tewas lalu mereka dimasukan ke dalam karung, diseret-seret lalu dijatuhkan ke lantai bawah, selanjutnya dibawa ke jembatan tidak jauh dari tempat itu yang dibawah mengalir sungai, disungai itulah para jagal membuang korbannya. 

Di waktu lain, diceritakan bagaiman ia menghabisi nyawa korbannya dengan cara menyeret tubuh korban yang sudah tidak berdaya karena telah dianiaya sebelumnya, lalu mereka meletakan kepalanya dibawah kaki meja, bersama-sama dengan beberapa temannya Anwar menduduki meja itu sambil bernyanyi riang hallo-hallo Bandung. Sesekali mereka mengecheck apakah sang korban sudah benar-benar mati atau belum.

Cerita lain lagi bagaimana cara dia membunuh korbannya didalam sebuah hutan karet yang gelap gulita. Dengan tangan terikat, mulut di sumpal, korban dipaksa duduk bersimpuh dan kepalanya diletakan diatas batang pohon, kemudian dengan kejinya Anwar memukul kepala korban hingga jatuh tersungkur dengan mata membelalak. Konon menurut Anwar, dia menyesali kenapa dia tidak menutup mata korban yang mati mengenaskan tersebut, dimana hingga kini datang menghantuinya saat tidur. 

Disisi lain digambarkan Anwar hanyalah manusia biasa, yang memiliki sisi kemanusiaan. Dimata cucunya ia adalah seorang kakek yang baik hati dan penyayang, hal ini digambarkan pada adegan saat ia meminta cucunya untuk minta maaf kepada itik (bebek) yang kakinya pincang akibat lemparan sendal cucunya. Spontan penonton tertawa karena bagaiman bisa seorang yang mampu mendeskripsikan dengan gamblang mudahnya membinasakan manusia memiliki rasa iba terhadap bebek dan dengan penuh kasih sayang mengajari sang cucu. 
Tiba pada satu titik Anwar harus memerankan korbannya, sempat beberapa kali adegan diulang dan katanya "saya sempat merasa hilang sekejap (saat tali kawat ditarik dilehernya) ..." dan setelah itu dia duduk lemas dan lunglai, sangat lelah. Bahkan saat melakukan review adegan tersebut, dia menangis dan mengatakan "saya salah...apa yang saya lakukan adalah salah".....
Ada scene dimana Anwar kembali ke atap gedung dimana dulu ia pernah sambil begoyang cha-cha menghabisi korbannya, kali ini berbeda, Anwar tidak seringan adengan sebelumnya, ia mulai muntah-muntah hingga berkali-kali saat membayangkan para korban itu bermandi darah.

Anwar memiliki seorang teman dekat yang sama-sama berprofesi sebagai seorang jagal dulunya. Namanya Adi Zulkadry. Adi terlihat sangat confidence dan lebih intelek dibandingkan dengan Anwar. Mengutip dari pernyataan Adi sendiri ketika ditanya tentang kejahatan-kejahatannya: “definisi-definisi kejahatan perang adalah buatan orang yang menang. Saya pemenang. Saya membuat definisi saya sendiri…. Besok akan ada konvensi Jakarta untuk tandingan konvensi Jenewa.” 

Saat ditanya bagaimana kalau apa yang ia lakukan suatu hari diperkarakan di Mahkamah International, dengan tegas ia menjawab "saya tidak takut, saya senang malah karena saya akan jadi terkenal"...hmmm menggelitik dan ironis. 

Adi berbeda dengan Anwar yang kian hari dihantui oleh perasaan bersalah, ia memilih untuk melupakan dan berfikir bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah kejahatan, mereka diperintahkan and they supposed to be a hero yang sudah membela negara Indonesia dengan menumpas PKI dan memang begitulah mereka dianggap selama ini. Film ini seakan ingin mengatakan kepada kita, yuk bangun dari mimpi, buka mata, ayo bertanya apa sebenarnya yang terjadi dimasa lalu, kami ingin tahu kebenaran masa lalu, jangan lupakan dan simpan borok itu karena akan menjalar, busuk dan melemahkan mental bangsa. 

Discussion
Sessi diskusi tiba setelah sekitar 2,5 jam pemutaran film. Diskusi dibawakan oleh Manneke Budiman, pengajar sekaligus kritikus sastra kontemporer, bersama para nara sumber yaitu Summa Mihardja (sisi Hukum), Reinhardj Sirait (pengamat film) dan Hilman Farid (dosen sejarah di UI). 
Awalnya diskusi di setting diatas panggung dan ada bangku-bangku untuk para narasumber, mungkin karena pertimbangan ingin lebih ngeblend mereka memilih untuk duduk-duduk santai dibibir panggung. Tidak cukup sampai disitu, sesi pertama seharusnya mendengarkan pandangan para narasumber dibalik justru mendengarkan opini penonton terlebih dahulu. Menurut saya, ini sebuah improvisasi kecil yang implikasinya sangat besar #sip masuk kantong untuk bahan pembelajaran how to communicate...
Suma, Reinhardj, Hilman, Manneke




Satu-satu para penonton melemparkan opini, namun sayang waktu yang terbatas sehingga baru berasa "panas" diskusi berakhir, saya yakin jika waktu diskusi lebih panjang akan lebih banyak opini yang menyeruak keluar. Beberapa yang ingin saya garis bawahi dalam sessi diskusi ini:

1. Hilman : dalam kaitan bagaimana cara yang dapat kita tempuh agar dapat lebih dalam lagi menggali guna mendorong dibukanya arsip sejarah terkait pembantaian G30S adalah dengan cara bertutur, mendongeng. Pada dasarnya manusia suka bercerita. Marilah mulai mencoba bertanya kepada kakek, nenek, orang-orang tua yang mungkin mengalami dan ikut terlibat dalam kejadian tragis itu. Dari sana mungkin kita akan mengetahui kejadian yang sebenarnya dari berbagai sisi. Selain itu menyebarkan semacam angket atau questioner, dari sana siapa tahu terkuak sesuatu yang selama ini belum pernah kita ketahui. 

Mengenai hal ini, dari sisi saya sebagai orang yang mendalami masalah komunikasi, social media patut dijadikan salah satu cara jitu bagaimana mengkomunikasikan berbagai pemikiran yang muncul. Kembali pada prinsip AIDA diawal yang saya bicarakan. Menggelar acara dan diskusi-diskusi sehingga memancing orang untuk berfilsafat, tidak terlalu paranoid terhadap issue PKI, atheis, komunis dst. Jangan takut terkena cuci otak, kita tidak tahu mana fantasi dan mana fiksi dalam situasi semacam ini. Jika sudah mulai merasa terhanyut jauh, bangun, bangkit, kembali pada kesadaran dan berfikir logis, out of the box dan berusaha sekomprehensif mungkin dalam membuat suatu penilaian.

2. Reinhardj : menurutnya kita sebaiknya membiarkan film seperti TAoK ini diputar bebas dimasyarakat, jangan khawatir terhadap konflik yang mungkin terjadi, biarkan konflik itu bergulir, jangan ada lagi pembatasan terhadap pemutaran film ini. Yang kedua, jangan kita menjadi iba dan kasin melihat seorang Anwar dengan "sakit saraf" nya, setelah melihat dia menangis dan semakin merasakan penderitaan korbannya. 

Saya rasa jika acara serupa digelar sebaiknya menghadirkan lebih banyak narasumber, misalnya dari sisi psikologi, sosial budaya, komunikasi dan tentu saja pelaku sejarah itu sendiri. Dengan demikian kita akan mampu mencernanya dengan lebih komprehensif. Rasanya akan tidak etis jika film ini diputar dan semua kalangan melihatnya terutama anak kecil, lalu apa bedanya kita dengan yang dilakukan pada masa orba, menjejali anak sekolah dengan tontonan sadis, mencuci otak mereka, menjadi parno terhadap yang namanya tidak boleh disebut wakakaka...PKI maksudnya bukan Lord Voldemort. Selain itu, yang perlu kita ingat adalah Anwar tetaplah seoarang manusia, he is human being, kalau kita langsung saja menjudge dia seorang psikopat lalu siapa kita ini ? kita ini adalah dia yang selama ini mungkin tidak menyadari ada banyak kejanggalan selama ini yang selalu ditutup-tutupi. 

3. Suma : Kita harus selalu bertanya dan bertanya  serta "memaksa" agar pemerintah mau membuka arsip sejarah, meminta maaf dan mampu meluruskan sejarah. Memberikan kebebasan agar malakukan berbagai diskusi serupa. 

Dan dari beberapa penonton yang sempat memberikan opini, mereka mempertanyakan, apa sich sebenarnya yang menjadi tujuan Joshua, kenapa kebanyakan orang asing yang jusru lebih berani dalam membuat cerita yang kontroversi semacam ini - Amerika, perjanjian macam apa yang terjadi antara Joshua dan Anwar beserta rekan-rekannya sehingga mereka mampu tampil dengan "bodohnya". Ada pula yang berpendapat kenapa kok bisa ada penonton yang tertawa melihat film ini. 

Untuk yang terakhir saya rasa yang dia maksud adalah Erman, seorang preman Medan, teman Anwar yang berperan sebagai Aminah. Dia berperawakan gendut, perut buncit, memiliki seorang anak perempuan. Di kisahkan dia didandani layaknya seorang banci, berdandan penari kabaret berwarna merah layaknya seorang badut, make up yang tebal dan warna warni. Secara spontan penonton akan tertawa melihat adegan ini, namun jika ditelaah lebih jauh, hal ini seperti ejekan, tamparan, karena ada orang dengan kebodohannya mau diperlakukan seperti itu. Erman digambarkan representasi rakyat Indonesia, yang bisa mendadak mencalonkan diri menjadi caleg, melakukan kampanye dengan mobilnya sambil berorasi, membagi-bagikan selebaran. Namun Erman kalah karena tidak punya uang, tidak punya modal dalam melakukan kampanye, Erman hanya modal dengkul semata. 

Saya masuk pada kesimpulan bahwa setelah menonton film TAoK, akan muncul berbagai pertanyaan dalam benak kita, menjadi lebih kritis terhadap lingkungan dan pendapat lingkungan sekitar kita. Jika kembali mendapat kesempatan, saya akan menonton dan ikut kembali dalam diskusi film ini. 

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar