Jumat, 22 Februari 2013

Selamat Jalan Mba Dewi Husmawati | Tentang Kanker Paru-Paru dan Pemicunya

"Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS"

-- Tuhan 9 Cm | Taufik Ismail --


Diatas adalah sepenggal sajak karya Taufik Ismail mengenai gaya hidup masyarakat Indonesia yang begitu lekat dengan rokok. Sungguh kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa perokok pasif hanya menerima sampahnya saja dari para perokok yang tidak bertanggung jawab. Apapun dalih yang dibuat oleh para perokok buat saya akan selalu ada jawaban logis yang bisa mematahkannya. 

Hari ini, saya baru saja kehilangan satu teman untuk selama-lamanya karena mengidap kanker paru-paru, Dewi Husmawati. Tidak sampai 1 tahun perjuangannya melawan kanker, dia menyerah dengan meninggalkan 1 anak perempuan yang masih berusia sekitar 6 tahun. Usianya baru 39 tahun, dia harus merelakan berpisah dengan keluaganya selama berbulan-bulan, menjalani perawatan di rumah sakit Persahabatan Rawamangun. Saat saya menjenguknya sekitar 2 minggu yang lalu di rumah sakit, kondisi mba Dewi sudah sangat menurun akibat menjalani 7 kali kemoterapi, seharusnya masih ada 4 kali jadual kemo yang harus ia jalani, namun Allah keburu memanggilnya. Mungkin inilah yang terbaik untuk mba Dewi dan keluarga, terlalu perih melihat penderitaannya. Bukan saja materil tapi juga moril yang harus dikorbankan. 
Mba Dewi bersama anak semata wayang dan suami
Menurut penuturan mba Dewi, penyakit kankernya diketahui bermula dari rasa sakit didada yang ia rasakan dan seperti sesak nafas sekitar 2 minggu, sempat dia berfikir ini adalah gejala masuk angin biasa, namun setelah tidak kunjung sembuh dia memeriksakan diri ke rumah sakit guna mendapatkan informasi yang lebih akurat lagi. Setelah di scan ternyata terlihat dengan jelas bulatan kanker mengganjal disela paru-parunya. Sebelumnya dia tidak merasakan gejala apapun. Mba Dewi memang memiliki bibit kanker dari orang tuanya, seperti hal saudarinya yang lain meninggal akibat kanker, namun tentu ada faktor yang memicu pertumbuhan bibit ini. Berbagai kemungkinan penyebab pemicunya sudah ditelaah dan Dr sampai pada kesimpulan bahwa aktifitas sebagai perokok pasiflah yang menjadi penyebabnya. 
Mba Dewi sekitar 2 minggu lalu

Meskipun dengan pengorbanan yang begitu besar, masih tidak ingin menyalahkan siapapun, dia berpesan, agar jangan sampai ada lagi korban sepertinya terutama untuk teman-teman satu kantor. Sambil mengingat-ngingat, mba Dewi bercerita, kehidupan saya lebih banyak didalam kantor ketimbang diluar, setiap hari saya didalam kantor, dirumah orang tua saya tidak merokok, saya gak doyan minum minuman bersoda. Ini adalah efek kebiasaan buruk yang berawal dari 10 hingga 14 tahun yang lalu, ruangan kantor penuh dengan asap rokok, si anu  ngerokok didepan muka saya (orang-orang yang tergolong kalangan elite di kantor), lalu gimana saya bisa menghentikan mereka? (sungkan karena yang merokok adalah tamu kehormatan, jajaran direksi dll yang sejenisnya), asap ngebul kemana-mana, ruangan ber AC, tertutup, mereka pada lari keruangan kerja saya karena diruangan lain tidak bisa merokok, tempat saya dijadikan basecamp para perokok.

Saya bingung harus ngomong apa dan menjawab apa ke mba Dewi, terbesit kengerian yang sangat didalam jiwa saya, bagaimana jika cobaan seberat ini menimpa pada saya, bagaiman anak-anak saya, suami, siapa yang akan mengurus mereka, saya masih sangat ingin bersama mereka untuk waktu yang lama, saya masih sangat mencintai  mereka dan belum mau berpisah, bagaimana dengan biaya rumah sakit, dari mana uang untuk membiayainya, mana enak kalau kita harus menyusahkan suami, orang tua, teman-teman yang menjenguk dan menunggui kita kita dirumah sakit, lalu saya tidak bekerja dan melakukan aktifitas, merasakan pegal disekujur tubuh karena terus berbaring dan sakit luar biasa saat di kemo, bukan hanya sekali tapi berkali-kali, rambut yang tadinya panjang lalu rontok tanpa tersisa sehelai pun, dan yang paling mengerikan adalah bahaya itu masih mengacam disekitar saya. Masih banyak orang-orang berdasi dan sangat intelek ini yang mengepulkan sampah-sampah nikotin diruangan kantor. Saya sungguh tidak mengerti apa yang ada dibenak mereka-mereka para smoker ini, sudah ada larangan, sudah ada korban, tapi maaaaaaaaaaaaasih juga membandel. Kemana sich perginya hati nurani mereka.

Mati memang urusan yang diatas, begitu juga rejeki, jodoh serta takdir. Tapi kita manusia harus terus berikhtiar untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kehari. Logikanya begini, toh saya akan mati, lalu dengan kepasrahan, kita menyeberang di jalan tol, atau mungkin berdiri ditengah jalur TransJakarta sambil menunggu taxi. Demikian halnya dengan asap rokok. Think about it!

Tepat pukul 22.00 Wib malam Jumat tanggal 21/2, Mba Dewi meninggalkan kami semua. Baru memasuki lobby kantor, saya dikejutkan dengan isi pesan di bbm dari salah satu teman yang menginformasikan kepergian mba Dewi. Mungkin semua orangpun sudah bisa memprediksikan apa yang bakal terjadi sejak dikabarkan bahwa Dr menyarankan mba Dewi untuk pulang dan dirawat dirumah saja. Tidak ingin takabur dan mendahuli kuasa Allah, saya mencoba menyembunyikan pikiran negatif itu dan terus berdo'a semoga Allah memberikan mukjijatnya kepada mba Dewi dan keluarga. 

Pagi itu dengan sedikit tidak memperdulikan boss saya yang sedang meeting, saya dan teman-teman kantor langsung menuju rumah duka dimana mba Dewi disemayamkan. Dalam ajaran islam, sebaik-baiknya jika ada sodara yang meninggal maka harus dikuburkan secepat mungkin. Saat kami tiba sekitar jam 10am, terlihat kerumunan manusia sudah menyesaki rumah duka. Saya tidak sempat melihat wajah mba Dewi untuk yang terakhir kali, karena kerumunan orang yang berdesakan. Tepat saat saya bisa menyeruak kerumunan orang, kain penutup sudah sampai diatas kepalanya. Saya sempat mengamati anak semata wayang mba Dewi, gadis kecil yang berumur sekitar 5 atau 6 tahun itu seperti belum mengerti bahwa ibunya sudah pergi untuk selamanya. Dengan lugu dan polos tanpa rasa bersedih sedikitpun dia memainkan bunga diatas keranda sang mama. Melihat ini saya langsung teringat dengan putri-putri saya dirumah. 

Putri bungsu saya, Khaira (Kalla)...berusia 4 tahun, memiliki sifat yang agak lebih sensitive dan peka ketimbang kakanya. Saya dan suami sering pura-pura pingsan atau meninggal, Kalla langsung panik dan menangis sejadi-jadinya :"mama jangan matiiii.....mama jangan matiii......". Saya membayangkan bagaiman jika hal ini terjadi dengan saya???....bagaimana saya bisa mengobati rasa sedih anak saya itu? sakit dan perih banget rasanya membayangkan hal itu terjadi. 

Setiap kejadian apapun haruslah dapat kita ambil pelajaran dan hikmahnya, berfikir menjadi manusia yang lebih baik. Mba Dewi memang sudah pergi tapi jangan sampai apa yang menimpa mba Dewi hilang begitu saja, dilupakan tanpa bekas, dan kembali setiap manusia cuek dan tidak peduli terhadap bahaya merokok. Kita harus berani menegur orang yang menzolimi hak kita dalam menghirup udara bersih tanpa asap rokok, tidak terkecuali siapapun dia. Jika aturan hanya bisa dibuat tanpa diterapkan funishmentnnya, maka kitalah sebagai individu yang peduli terhadap kesehatan yang harus bergerak sendiri menegakan aturan itu. Saya gak akan segan-segan mengambil foto para smoker itu didalam ruangan yang jelas-jelas mengatur mengenai rokok dan menguploadnya ke sosmed, dan biarkan norma sosial yang berbicara.

Selamat jalan Mba Dewi, semoga diterima di sisi Allah SWT. Semoga menjadi pelajaran bagi kami semua.


6 komentar: